Menyapamu Pada Sepucuk Surat Rindu



Gemercik air hujan menemani pagi ini. Di beranda rumah itu tampak seorang gadis sibuk dengan surat kabarnya, berharap menemukan keajaiban yang membawa semangatnya kembali. Baru seminggu berlalu dia merayakan wisuda. Ucapan selamat pun datang silih berganti, bahkan banyak tawaran beasiswa yang datang kepadanya. Predikat Cum Laude telah ia dapatkan. Seharusnya wisuda itu jadi saat yang membahagiakan, tapi dia tidak menemukan kebahagiaan itu. Senyum manisnya tertempel di dinding bersama kedua orang tuanya, tapi dia sendiri tak yakin apakah senyum itu tulus dari hati. Setelah berkali-kali ia membalikkan surat kabar itu akhirnya dia menyerah. Pencarianya sia-sia. Dia pun menaruh surat kabar itu dan meninggalkanya bersama harapannya walau dia tahu, harapan itu tak pernah benar-benar bisa dia tinggalkan.

“Sudah dapat pekerjaan yang cocok, dek?”

Dia sedikit kaget dengan pertanyaan ibunya, yang membuatnya sadar dari alam khayalnya. Hampir saja masakanya gosong gara-gara dia mengkhayal, buru-buru ia membalik tempe itu.

“Emm … belum, Bu.”

Sedikit gugup ia menjawab. Selama ini ibunya sering melihatnya rutin membeli surat kabar, mengira yang dicari anak bungsunya itu lowongan pekerjaan, padahal ia tak pernah membuka bagian itu.

“Kamu harus bisa hidup lebih sejahtera dari pada orang tuamu ini.” Sambil mencicipi soto yang tengah dibuatnya, Ibu melanjutkan “Ayahmu hanya kerja serabutan, sedang Ibumu ini hanya jualan soto. Beruntung kita tinggal dekat sekolah, jadi banyak yang beli.”

“Insya Allah, Bu, tapi apa harus kerja kantoran?”

Dia memberanikan bertanya. Selama ini dia tak tertarik bekerja kantoran, harus terkurung dalam ruangan bersama kertas-kertas laporan. Dia tak bisa membayangkan dirinya dipenjara di tempat yang seperti itu walau secara kemampuan dia sangat menguasai.

“Iya, dengan kerja kantoran kamu bisa dapat gaji tiap bulan, dengan begitu kebutuhan kamu lebih terjamin.”

Mata gadis itu terasa panas mendengar jawaban ibunya. Rasanya seperti ada yang memberontak ingin keluar, tapi sebisa mungkin ia tahan. Dia tak bisa meyakinkan orang tuanya tentang cita-citanya, bahkan dari sebelum kuliah telah ia sampaikan tapi selama itu pula orang tuanya menolak. “Sekarang itu jadi PNS susah, nduk. Nanti ujung-ujungnya kamu hanya jadi honorer, bagaimana bisa kamu nanti membiayai anak-anakmu?” Begitulah Ayahnya menyanggah, bahkan dia sampai bilang ingin cari suami yang kerja kantoran tapi tetap saja ditolak. “Mencari penghasilan berdua kan lebih baik.”

Orang tuanya tetap bersikukuh ingin anak bungsunya itu kerja kantoran seperti kakaknya. Melihat keberhasilan kakaknya yang telah berkeluarga dan hidup bahagia tentu menyenangkan hati orang tua. Sebenarnya kakaknya paham apa yang diinginkan adiknya. Telah berkali-kali dia coba meyakinkan agar mendukung cita-cita adiknya tapi berkali-kali pula orang tuanya menolak. Mereka anak-anak yang berbakti. Dididik dengan budi pekerti dan ajaran agama yang cukup sehingga mereka paham arti berbakti kepada orang tua, sehingga tak akan ada bentakan walau hati tak sejalan.

***

Tulisan itu tak kunjung bertambah. Sesekali jemarinya mengetik tapi cepat-cepat dihapus. Pikiranya kacau. Kemana dia harus mencari ide ketika orang tua semakin menekanya untuk segera mencari pekerjaan. Biasanya ide itu mengalir lancar di waktu subuh begini, tapi hari ini seperti pengecualian. Tiba-tiba perhatianya tertuju pada surat yang didapatkanya dua hari lalu di Perpustakaan kota. Entah siapa yang menaruhnya, waktu itu dia sedang mencari buku di rak dan meninggalkan tasnya di meja. Setelah kembali dia mendapati sepucuk surat di atas tasnya. Ragu-ragu dia membukanya. Dia mengernyitkan dahi … apa-apaan ini `Menyapamu Pada Sepucuk Surat Rindu` begitulah judul yang tertera. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri berharap menemukan seseorang yang mencurigakan tapi percuma, waktu itu masih pagi, belum banyak pengunjung dan tak ada yang mencurigakan dan tak ada yang ia kenal. Buru-buru ia melanjutkan membaca, menacari nama pengirimnya tapi dia hanya menemukan namanya sendiri sebagai nama penerima.

Kali ini dia mencoba membacanya lebih seksama, berusaha memastikan apakah surat itu untuknya. Berkali-kali dia membaca semakin yakin surat itu untuknya, bahkan tertera jelas namanya. Surat itu ditulis dengan tulisan tangan yang amat indah, dengan bahasa yang indah pula. Sekilas dia menemukan arti bahagia. Senyum itu tersimpul di wajahnya. Apakah itu tulus dari hati, apakah hatinya juga merasakan rindu yang sama. Entahlah yang jelas dia menyukainya.

“Berkali-kali aku melihat bulan. Sinarnya yang teduh mengingatkanku pada kelembutan hatimu. Apalah daya diri ini yang hanya bintang kecil. Maka sinarku tak akan mampu menyamaimu. Tapi biarlah aku rela menjadi bayang-banyangmu. Demi menghiasi malam itu. Untukmu Keyla Azahra.”

Penggalan surat itu, entah sampai kapan Keyla akan menyimpanya, maka mulai hari ini, dia punya harapan baru.

#Day1
#RamadhanBerkisah
#PenaJuara
#IniPanggungKita
#Cerbung

Unknown

Tidak ada komentar:

Posting Komentar