Menikmati Penghuni Langit



Bintang-gemintang bertebaran bagai kelereng yang disebar. Berkilauan menghiasi gelapnya malam. Tak tertinggal bulan sebagai permata yang memikat, dengan sinar lembutnya yang tak kan silau sampai lelah memandang. Gadis itu tampak kehilangan keceriaanya, dan bulan sebagai pelampiasan. Sudah dua jam dia tak beranjak dari kursi di teras rumah sederhana itu. Bu Karlina sudah lima kali keluar masuk membujuknya agar mau kedalam, tapi gadis itu hanya menjawab singkat "Caca masih mau disini, Bu." dengan senyum yang jelas sangat dipaksakan.

"Dzakyy, bujuk Caca ke dalam, kasihan diluar dingin." Suruh Bu Karlina sambil mengetuk pintu kamar Dzakyy.

"Kasih saja selimut, Bu." Jawab Dzakyy yang masih asyik menulis artikel. Baru juga dapat dua paragraf, jika dia tinggalkan, bisa-bisa idenya lari tak tersisa.

"Dzakyy ...." Bu Karlina bersungut-sungut tak peduli dengan kesibukan anaknya itu.

"Iya, Bu." Dengan malas Dzakyy beranjak keluar, berharap idenya tak segera hilang.

"Buruan." Ibunya yang menunggu di depan pintu membentaknya begitu pintu dibuka.

Dzakyy tak menjawab, hanya melewatinya sambil melempar senyum.

Dinginya angin malam segera menusuk tulang begitu Dzakyy keluar. Gadis itu tetap tak bergeming. Pandanganya tak teralihkan. Malam ini memang indah, bagi mereka yang menyukai pesona malam. Dzakyy, segera membawa kursi dan duduk di sampingnya.

"Kapan ujian." Dzakyy ikut mendongak, berusaha menyatukan pandangan tanpa bertatapan.

"Nanti nunggu pemberitahuan, Kak." Caca menjawabnya tanpa menoleh.

Suasana lengang sejenak, Dzakyy butuh waktu untuk merangkai kata, dia tak bisa seenaknya bicara seperti halnya ketika hati Caca sedang baik.

"Pernahkah membayangkan betapa menakjubkanya penghuni langit." Kali ini Caca menoleh, bukan karena lelah, tapi dia butuh penjelasan dari yang diucapkan Kakaknya itu.

"Bahkan pada gelapnya malam yang terkadang membuat orang takut" Dzakyy berhenti sejenak, pandanganya tak teralihkan "ada hal menakjubkan yang tak bisa kita nikmati pada terangnya siang."

Caca kembali mendongak. Dia paham apa yang dimaksud kakaknya.

"Suatu hari nanti, kita akan terbang kesana. Iya, kan kak?"

"Iya."

"Aku takut mereka tak menyambutku dengan baik." Kali ini Dzakyy menoleh mendengar ucapan Caca. Dia bahkan tak berfikir sejauh itu. Terlihat butir kristal keluar dari sela-sela mata indahnya.

"Aku baca buku kakak ... mungkin aku dulu selalu benci, ketika kakak menitipkan buku cerita pada Ayah." butiran kristal itu perlahan menggelayuti pipinya

"kenapa bukan kue, atau permen, anak kecil kan suka permen, tapi apa yang kakak berikan." kali ini dia tertunduk, membiarkan butiran kristal cair itu menetes, jatuh.

"Itu, karena ibumu." Dzakyy tetap mendongak menikmati dekapan sinar rembulan, mungkin memang tak sehangat sinar mentari, tapi ketenangan hati mampu mengusir dinginya angin malam.

Caca menoleh meminta penjelasan.

"Dari semua saudara Ibu. Ibumu yang paling dekat dan perhatian. Dia tahu aku sejak dulu suka menggambar, menulis. Beliau juga sering membacakan cerita, walaupun kebanyakan ceritanya aku tak paham. Dzakyy tersenyum mengenang cerita itu Ibumu paling suka budaya. Setiap ada pagelaran kebudayaan pasti Ibumu datang, dan aku menjadi teman setianya. Ayahmu sering keluar kota semenjak Ibumu mengandung. Katanya untuk bekal membiayai persalinan dan biaya hidup. Dzakyy menghela nafas. Rasanya berat menceritakan itu semua. Bukan karena dia tak ingat, dia bahkan tak bias melupakanya.
Lanjutkan, Kak? Caca memelas

Dzakyy menatap lamat-lamat adik sepupunya itu. Kebanyakan orang yang mengenalnya hanya akan tahu dia yang periang tanpa mengetahui beban di balik tawanya.

Dzakyy menghela nafas berusaha mengumpulkan tenaga. Ini bukan hanya menyangkut dia dan tantenya, tapi juga tentang seorang anak yang ditinggal Ibunya.

Waktu itu Ibumu mengandung empat bulan. Kita masih tinggal di desa. Ada tetangga desa yang mengundang dalang untuk menunjukkan pagelaran wayang. Sejak pagi tak ada yang dibahas selain wayang, Aku sampai bosan mendengarnya. Pertunjukan dimulai malam hari. Sejak sore Ibumu telah bersiap-siap. Aku enggan untuk berangkat, maka sore itu Aku merengek minta tinggal di rumah, tapi Ibumu memaksa. Hingga malam akhirnya Aku mengalah, karena Ibumu berjanji membelikan mainan. Waktu ingin berangkat, hujan tiba-tiba turun deras sekali. Ibumu tak menyerah, tetap memaksa berangkat, tapi ditentang seluruh penghuni rumah. Akhirnya Ibumu hanya mengurung diri di dalam kamar selama seminggu. Sejak saat itu semangat hidupnya berkurang. Di desa memang jarang ada pertunjukan. Andai waktu bisa terulang Caca menggengam tangan Dzakyy sebelum sempat melanjutkan. Caca tak menoleh, pandanganya tertuju ke langit.

Kamu boleh membenciku, dek. Kakakmu ini yang telah merenggut semangat Ibumu. Dzakyy menunduk pasrah setelah apa yang diceritakanya.

Caca tiba-tiba menyandarkan kepalanya ke bahu kakaknya. Aku selalu membencimu, kak. Kakak yang selalu jail, kakak yang selalu bikin Caca nangis, tapi terkadang, yang paling dibenci itu yang susah dilupakan. Kali ini tak ada air mata yang keluar, hanya senyum simpul yang menghiasi wajahnya. Apa yang kakak peroleh dari Ibu?

Ibumu selalu bilang, kebudayaan di Nusantara itu indah Dzakyy, jika kamu mau mempelajarinya satu saja, InsyaAllah kamu akan peka terhadap sekitarmu karena budaya itu mengajarkan kelembutan. Dzakyy menghela nafas mungkin tak semua orang memiliki sudut pandang yang istimewa seperti Ibumu. Selama ini aku mencoba menghargai keragaman budaya, dan itu mengajari tentang toleransi.

Semilir angin malam mulai terasa, Dzakyy mulai khawati adiknya nanti sakit.

Kakak ada lomba bikin essay tentang Keberagaman Budaya Nusantara, pemenangnya akan dapat beasiswa pelatihan jurnalis selama tiga hari, mau ikut tak? Lumayan buat ngisi waktu luang sebelum kuliah, jadwalnya sudah aku pastikan sebelum kuliah dimulai kok”

Caca bangkit dari sandaranya Boleh, kak. Wajah cerahnya telah kembali.

Oke, besuk aku ajari, sekarang istirahat dulu ya.

#Day8
#RamadhanBerkisah
#PenaJuara
#Cerbung
#IniPanggungKita

Unknown

Tidak ada komentar:

Posting Komentar