Pertemuan Singkat dengan Ibu



Caca membuka mata. Silaunya sinar langsung menyambutnya, memaksanya reflek mengangkat tangan. Dia menoleh, “ini dimana” gumamnya. Hanya hamparan rumput dan bunga di sekelilingnya, dan pohon besar yang rindang menaunginya. Matanya mulai terbiasa dengan sinar di sekelilingnya. Dia segera bangun dan bersandar di pohon “bagaimana dia bisa kesini?”. Pertanyaan itu memenuhi kepalanya membuatnya pusing. Ini tempat yang asing. Andai hatinya sedang baik, sebenarnya ini tempat yang amat indah dengan bunga yang mengelilinginya, menebar keharuman yang belum pernah dia temui dimanapun. Beralaskan rumput hijau bersih. Tak ada sampah, sungguh pemandangan yang indah. Dia mendongak. Hamparan langit biru cerah “hei dimana mataharinya?”. Caca beranjak berjalan kedepan. Tanganya menjulur pada sinar yang tak tertutup pohon besar itu. “hangat” sekejap menjulur sampai ke hati memberikan ketenangan. Dia berlari menghampiri bunga-bunga itu. Berlari pada jalan setapak di antara bunga-bunga. Dia tak peduli siapa yang membuatnya. Tanganya mengibas di atas bunga itu membuat serbuk sarinya beterbangan. Kegelisahanya hilang, berganti keceriaanya yang membuatnya tertawa, berlari kesana kemari, tak peduli lagi dia dimana.
“Caca ….” Tiba-tiba dia dikejutkan dengan suara yang memanggilnya.
Tawanya berhenti. Dia menoleh ke kiri dan kanan. Tak ada siapapun.
“Di sini sayang.” Sosok itu menyapa lembut dari belakang.
Caca yang reflek menoleh langsung melonjak jatuh, terkejut melihat sosok putih di belakangnya.
Sosok itu pun ikut duduk di depannya. Caca menatapnya bingung bercampur takjub. Sosok wanita mengenakan hijab putih dengan cahaya lembut memancar darinya. Tak ada sepatah kata yang dapat Caca ungkapkan. Badanya gemetar, dia tak mampu mengendalikanya lagi.
“Ini Ibu sayang, jangan takut.” Suara itu amat lembut penuh kasih sayang. “Pulanglah … ada orang yang sedang menantimu.”
“Ibu … benarkah ini Ibu. Caca kangen Ibu. Caca ingin ikut Ibu.” Suara itu hanya sampai di kerongkongan. Dia seolah tak ada daya untuk mengendalikan tubuhnya sendiri. Dia hanya mampu duduk termangu, jangankan berdiri, ingin sekali ia menyentuhnya, memeluknya, mencurahkan rindunya, tapi apa daya, bicara pun tak mampu.
“Selamat tinggal sayang, kita akan bertemu lagi.” Sosok itu berdiri, berbalik meninggalkan caca yang masih tersungkur tak berdaya.
“Ibu jangan pergi … Ibu …” dengan sekuat tenaga dia mencoba tapi percuma. Caca semakin khawatir karena cahaya disekelilingnya seolang mengikuti wanita itu pergi. Bunga-bunga pun layu, rumput hijau berganti hitam pekat. Caca semakin takut. Sekuat tenaga dia mencoba berdiri. Cahaya itu semakin meninggalkanya, hingga berkumpul pada satu titik dimana wanita itu berdiri. Wanita itu berbalik, melambaikan tangan. Seketika cahaya itu mengecil dan menelanya.
“Ibu …”
Caca yang tiba-tiba bangun dan berteriak mengagetkan semua orang di ruangan itu. Nafasnya tersengal. Bu Karlina, Ibunya Dzakyy langsung mendekapnya.
“tak apa sayang, Ibu disini.” Bu Karlina mencoba menenagkan. Dzakyy, Keyla dan Keysha hanya menatapnya iba.
“Ini dimana?” tubuhnya masih bergetar. Dia baru menyadari kalau dia sedang di ranjang, dengan selang infus menancap di lenganya.
“tak apa sayang, ayo tidur lagi.” Bu Karlina menenangkan sambil membaringkanya kembali.
Caca menatap sekeliling ruangan berbalut cat putih itu. Dia menemukan tiga sosok berdiri di belakang Bu Karlina.
“Kak Caca tak apa-apa kan?” Keysha yang berdiri di samping Keyla ragu-ragu bertanya. Ia ingin sekali ngobrol, bercanda tawa menghibur Caca tapi urung. Dia juga merasa bersalah karena Caca kecelakaan karena ingin pergi ke bioskop bersamanya.
Caca hanya tersenyum. Dia mencoba merangkai kejadian sebelumnya yang sempat terlupakan. Hingga dia sadar ada sesuatu yang salah pada dirinya. Kakinya terasa berat untuk digerakkan.
“kakiku kenapa, Bu?” Rintihnya sambil menyibak selimut yang menutupi separuh badanya.
“kakiku kenapa, Bu?” kali ini tangisnya buncah mendapati kakinya yang di gips. Dia ingat dua hari lagi dia ada khursus jurnalis yang dulu direkomendasikan Dzakyy. Itu cita-cita yang amat dia dambakan, sayangnya Ayahnya menyuruh dia untuk menjadi guru.
Bu Karlina hanya bisa mendekapnya “tak apa sayang, besok juga sembuh.”
Hanya saja tak sesederhana itu bagi Caca. Keysha memeluk kakaknya, Keyla. Dia merasa amat bersalah. Keyla mendekap mulutnya, bingung mau bicara apa. Dzakyy yang seolah paham apa yang di khawatirkan Caca, tiba-tiba mendekat, duduk disampingnya.
“Nanti kakak coba tanya sama pihak panitia.” Ibunya hanya menatap sekilas, urung mau bertanya pada Dzakyy.
“sini dek.” Dzakyy mengajak Keysha agar mendekat, duduk di sampingnya. Caca masih menutup mukanya, sesenggukan.
“Ca … tak mau kah kamu menyapa Keysha, dia dari tadi sore nungguin kamu, tak mau pulang.” Dzakyy berharap dengan itu Caca bisa sedikit mengesampingkan egonya. Dzakyy amat paham bahwa Caca sangat tak suka merepotkan orang lain, apalagi yang baru dikenal.
Perlahan Caca mulai tenang. Tangisnya reda. Ibunya menjauh, memberi ruang untuk Keysha mendekat.
“sini dek.” Caca menyuruhnya agar lebih mendekat.
“maafkan Keysha kak, gara-gara Keysha kakak …” belum sempat Keysha meneruskan, Caca langsung mendekapnya.
“Ini sama sekali bukan salahmu dek. Trimakasih telah mau menunggu kakak ya.”
Bu Karlina menatapnya senang. Tanganya meraih tangan Keyla yang kebetulan di sampingnya.
“Trimakasih ya, telah membawa Keysha kemari.”
Keyla membalas dengan seuntai senyum. Dia sama sekali tak mengira Bu Karlina akan berkata demikian.

#Day18
#RamadhanBerkisah
#PenaJuara
#Cerbung
#IniPanggungKita

Unknown

Tidak ada komentar:

Posting Komentar