Tentang Ayah-Kisah Buya Hamka



Siapa yang tak mengenal Buya Hamka. Ulama karismatik yang jadi inspirasi banyak orang. Menjadi panutan bahkan bagi generasi setelahnya. Ada banyak kisah yang dapat kita teladani. Tentang keberanian dan keteguhan hati beliau. Tentu ada banyak kisah yang kita dengar, entah itu dari orang-orang yang juga mengagumi beliau, atau dari tulisan yang banyak tersebar di dunia maya maupun buku. Ketika sebuah rasa suka itu telah tertanam di hati maka akan ada energi yang membuat kita ingin mengenal lebih jauh. Rasa suka itu juga berlaku pada sesuatu yang dikagumi, dan buku Ayah karya Irfan Hamka ini mampu menjadi pengenyang laparku, penawar rinduku dan pengobat kekagumanku, karena dengan buku ini membuatku mengenal lebih dekat tentang kehidupan Buya Hamka di masa mudanya, ketika dewasa, menjadi ulama, sastrawan, politisi, kepala rumah tangga, hingga ajal menjemputya.

Salah satu keistimewaan buku ini adalah dari sudut pandang penulisnya yang tidak lain adalah anak Buya Hamka sendiri, sehingga pribadi Buya Hamka bisa tergambarkan lebih jelas. Bagaimana pribadi beliau ketika menjadi kepala keluarga, juga ketika bermasyarakat dengan tetangga. Akhlak dan keluasan ilmu beliau tunjukan ketika memberi nasihat pada tamu-tamu yang datang untuk berkonsultasi, juga cara beliau mendidik anak-anaknya. Bagaimana perjuangan beliau melawan Belanda, juga kita dapat lebih mengenal bagaimana kehidupan keluarga Buya Hamka. Kisah perjuangan keluarga Buya Hamka ketika mengungsi waktu Soekarno-Hatta ditangkap Belanda. Itu menjadi awal mula perjuangan Buya Hamka dalam kisah buku ini. Juga ada kisah penulis ketika masih kecil tersesat di Stasiun Padang Panjang ketika bermain dengan adiknya Aliyah.

Selain sebagai sastrawan dan ulama Buya Hamka ternyata juga bisa ilmu silat. Itu dibuktikan dari kisah ketika menangkap penjahat yang hendak menyerangnya waktu pulang dari sidang konstituante. Membayangkan ketika itu kondisi keamanan belum stabil bahkan sampai diberlakukan jam malam mulai pukul 6 sore di beberapa tempat sehingga sulit mencari transportasi umum tapi Buya Hamka tetap menjalankan kesibukanya, itu cukup berkesan bagi saya. Selain itu cerita yang mungkin tidak banyak orang yang tahu adalah ketika Buya berdamai dengan jin di rumah yang baru dibangun di Jalan Raden Fatah III, Kebayoran Baru, Jakarta. Selingan cerita ini cukup menakutkan tapi ada pelajaran yang bisa diambil terutama dari sikap Buya kepada jin yang sering mengganggu keluarganya.

Ada juga sepotong cerita Haji Sabri. Akhir Desember 1967. Setelah menyampaikan khutbah di Masjid Baiturahim Istana Negara dan selesai shalat Idul Fitri, Buya ditawari untuk menunaikan rukun Haji dan akhirnya diterima dan dijadwalkan berangkat dengan kapal Mae Abeto pada tanggal 17 Februari 1968. Ada banyak kisah selama perjalanan salah salah satunya meninggalnya jamaah di kapal yang harus dikebumikan dengan cara diceburkan ke laut, juga berkenalan dengan teman seperjalanan yang bernama Sabri, seorang pedagang berlian dari Banjarmasin. Ia sudah tiga kali naik haji sambil berdagang berlian. Mereka berkenalan ketika Haji Sabri menawarkan daganganya kepada Ummi. Setelah pelaksanaan Haji selesai, ketika pulang, Salim, pekerja Syekh memberikan dua amplop kepada penulis yang waktu itu di ajak Buya naik haji bersama Ummi, satu amplop dari Haji Sabri dan satu amplop dari Nadya putri Tuan Syekh. Haji sabri menceritakan peristiwa ketika wukuf di Arafah. Waktu sampai di Muzdhalifah, mengumpulkan batu-batu kerikil, Haji Sabri bersinggungan dengan perempuan dari Turki. Haji Sabri pun terpesona dengan kecantikanya. Keesokan harinya ketika menuju Jumratul Aqabah, di tengah jalan kembali bertemu dengan perempuan Turki tersebut. Karena terpukau melihat terpukau melihat tanganya, Haji Sabri mencoba untuk menjamahnya. Belum sempat keinginannya tercapai tiba-tiba datang sebongkah bau hitam sebesar kepalan tangan menghantam mulutnya hingga pingsan. Akhirnya Haji Sabri menyesali perbuatanya dan merasa itu hukuman dari Allah.

Di sela perjalanan haji, Buya mendapat undangan dari Duta Besar Indonesia dari negara-negara sekitar Jazirah Arab, yang kemudian menjadi perjalanan maut yang tak terlupakan. Mereka mengunjungi Suriah, Lebanon, Irak untuk kemudian kembali ke Mekkah. Selaman perjalanan ada banyak kisah yang menegangkan mulai dari ketika mengunjungi Irak yang waktu itu terjadi peristiwa yang menakutkan di pesawat, juga perjalanan ketika kembali ke Mekkah yang harus ditempuh lewat jalur darat karena kondisi Ummi yang kurang sehat. Perjalanan panjang di tengah gurun pasir itu sangat menegangkan. Berbagai peristiwa pun terjadi. Tentang perjuangan mereka untuk lolos dari terjangan angin topan, sopir yang tertidur hingga hampir kecelakaan, jugs menghadapi air bah di gunung granit dan kisah lainya itu menjadi kisah yang amat mengagumkan sekaligus mendebarkan.

Selain itu di dalam buku ini penulis juga merangkum kehebatan Ayahnya juga mengurai kepribadian Umminya yang tentu dari kisah itu ada banyak pelajaran yang bisa kita ambil. Perjuangan keluarganya ketika Buya ditahan oleh rezim Soekarno. Bagaimana cara Ummi menghidupi keluarga juga kekokohan hati dalam menjaga kehormatan hingga akhirnya Allah menunjukan kuasanya. Juga ada selingan kisah tentang si Kuning, kucing kesayangan Buya yang begitu setia. Rangkuman dari kehidupan Buya waktu kecil hingga menikah lagi menjadi bab yang amat berkesan bagi saya. Kisah perjuanganya menuntut ilmu hingga merantau ke Jawa bahkan sampai ke Mekkah. Cobaan yang datang bertubi-tubi. Sakit cacar yang membuatnya banyak dicaci. Tak punya Diploma hingga tak diterima menjadi guru di sekolah yang ayahnya sendiri ikut mendirikanya. Cobaan yang datang silih berganti itu membentuk pribadi yang tangguh pada diri Buya Hamka. Kebesaran hati dan pemaafnya tergambar jelas dari cara Buya Hamka menghadapi orang yang bertentangan dengan beliau terutama sikapnya terhadap Soekarno yang memenjarakanya atas tuduhan yang tak pernah dilakukan Buya. Bahkan buku karangan Buya Hamka dilarang terbit dan beredar. Padahal itu sumber nafkah untuk keluarganya tapi Buya tetap memaafkan. Juga kisahnya dengan Moh. Yamin yang membencinya karena perbedaan pandang dasar negara. Buya Hamka menginginkan berdasarkan syariat islam sedang Moh. Yamin menginginkan Pancasila. Juga kisahnya dengan Pramoedya Ananta Toer yang merupakan pendukung PKI dengan gencar memfitnah orang yang berhaluan termasuk Buya Hama dan lagi-lagi Buya memaafkan.

Ada banyak kisah dalam buku ini yang dapat diambil pelajaran yang kisahnya terlalu banyak untuk ditulis ulang. Buku ini juga mampu memberi motivasi bagi yang sedang menuntut ilmu juga memberikan kita pandangan yang luas dalam menghadapi persoalan. Pribadi Buya Hamka dapat dikenal lebih dalam dengan buku ini. Salah satunya tentang sifat pemaafnya yang luar biasa dan ketenanganya ketika masalah datang. Kehausan akan ilmu dan kontribusinya untuk negara dan dakwah hingga mengantarkanya mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar Cairo adalah kisah yang sayang untuk dilewatkan. Menjadikanya idola dan kecintaan untuk kemudian menjadikan panutan dan menceritakan pada generasi yang akan datang yang semoga dengan itu mengalir pula pahala untuk Buya Hamka yang telah menananmkan semangat juang bagi generasi setelahnya.

Unknown

Tidak ada komentar:

Posting Komentar