Buku Harian Doni #1 Belajar Dari Belimbing



     Pagi cerah. 
     Gumpalan awan mengambang bagai berton-ton kapas yang terbang. Matahari menggantung menebar kehangatan demi menyulut semangat untuk memulai aktivitas. Jalanan telah dipadati kendaraan. Orang berduyun-duyun ke halte menunggu bus untuk berangkat kerja. Juga pelajar yang hendak sekolah. Sebagian memilih ojek online. Tak sedikit yang menggunakan kendaraan pribadi.

“Assalamu’alaikum Bunda ... Assalamu’alaikum Ayah” kedua anak itu bergantian menyalami orang tuanya. Usianya terpaut empat tahun. Doni kelas lima sedang Keyla kelas satu.

“Hati-hati ya Doni ... Keyla.” Bunda mengusap kepala mereka bergantian.

“Belajar yang giat ya sayang.” Setengah berteriak Bunda membalas mereka yang berlarian sambil melambaikan tangan. Menaiki ojek online yang dipesan Ayah. Rumah mereka dengan sekolah memang tak begitu jauh. Jadi mereka memilih ojek online, kadang juga diantar Ayah. Untuk pulang biasa dijemput Bunda.
     Sebenarnya hari ini Ayah bisa saja mengantar mereka. Tapi setiap sebulan sekali ada kebiasaan yang dilakukan Ayah. Memeriksa kamar anaknya.

“Jangan diobrak-abrik ya, mas!” Bunda mengingatkan ketika mereka masuk rumah.

“Nanti kamu yang beresin.” Jawabnya sambil tertawa menggoda.

     Tak banyak yang Ayah periksa. Karena kebanyakan buku pelajaran dibawa ke sekolah. Kamar itu rapi. Balutan cat dan keramik putih menambah kesan bersih dan terang. Selimut dan bantal tertata rapi di kasur dua tingkat itu. Anak-anak memang dibiasakan disiplin merapikan tempat tidur waktu bangun pagi. Di dekat pintu terdapat lemari besar tempat menyimpan baju. Di samping kasur ada dua rak buku. Ke sana Ayah melangkahkan kaki. Tak ada meja belajar. Karena selama masih SD tempat belajar di ruang tamu. Didampingi Ayah dan Bunda. Ayah sekilas membuka lembaran buku tulis yang ada untuk kemudian ditaruhnya kembali setelah memeriksanya. Bagian bawah rak itu terdapat laci. Laci milik si sulung terkunci sedang punya adiknya tidak. Bahkan kuncinya masih di ganggang laci itu. Dengan mudah Ayah membukanya, juga laci si sulung … Ayah punya duplikatnya. Sekilas tak ada yang menarik. Hanya lembaran kertas hasil ujian dan fotokopi materi pelajaran yang mungkin diberikan guru sebagai tambahan. Setelah beberapa saat membongkar isi laci si sulung akhirnya Ayah dapat yang ia cari. Buku harian.

“Tak seharusnya kamu baca buku itu, mas.” Sanggah istrinya waktu tahu kebiasaan suaminya.

“Ini salah satu cara mengawasi aktivitas anak kita, dinda.” Jawab Ayah santai.
Ayah memang menyuruh anaknya untuk membuat buku harian. Untuk membiasakan agar anaknya gemar menulis, juga agar kemampuan menulisnya meningkat.

“Tapi aku anak laki-laki, yah?” Protes anak sulungnya

“Tahukah, nak? Albert Einstein dan ilmuan-ilmuan hebat lainya, mereka juga menulis buku harian.”

“Benarkah, Yah?

“Iya, kebanyakan orang pintar itu menulis buku harian.”

“Ayah juga menulis buku harian?”

“Buku harian Ayahmu itu hanya berisi mimpi-mimpi waktu masih muda.” Sela Bunda yang diikuti gelak tawa Ayah.

Ayah hanya membaca sekilas. Kebanyakan isinya sudah dibaca. Hingga tiba ditulisan terakhir. Ayah terbelalak. Awalnya biasa, tapi setelah dibaca seksama. Ada guratan penyesalan, ada guratan kecewa. Bagaimana mungkin dia membencinya.


“Tak ada yang istimewa. Hari ini berjalan sepertia biasa. Awalnya Aku pikir tak perlu ada yang dituls di buku catatan ini. Seperti hari-hari sebelumnya. Hingga jam pelajaran terakhir. Pelajaran bahasa jawa. Gurunya baik sih tapi pelajaranya bosenin. Walaupun selama pelajaran dihabiskan untuk menyanyi, tapi aku tak begitu paham apa yang dinyanyikan. Katanya itu tembang jawa. Judulnya apa ya tadi? Emm ... Lir ilir. Iya itu kayaknya. Murid-murid disuruh mengikuti Bu Guru, tapi aku tak begitu hafal liriknya walau ditulis di whiteboard. Aku tak begitu semangat. Lagu apa itu? Bayangkan di dalam tembang itu kesanya memaksa. Hingga selesai pelajaran hanya itu yang aku pikirkan. Dan hanya bagian itu yang aku hafal. “Cah Angon, Cah Angon. Penekno blimbing kuwi. Lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro.” Yang lain aku tak hafal. Habis, kaya ga nyambung liriknya .... Mungkin hanya itu yang ingin aku tulis. Kata Ayah, jika kita menemukan sesuatu yang membuat kita bingung, maka tulislah dan kenanglah. Esok lusa, atau hari yang akan datang pasti akan menemukan jawabanya.”
     Bagaimana mungkin anaknya bisa membencinya. Tembang yang selama ini dia kagumi. Tembang yang serat akan makna tujuan kita hidup. Dan mengajarkan tentang pengorbanan dan perjuangan.

“Ada apa?” Tanya istrinya memecah keheningan ruangan. Bingung melihat wajah suaminya.

“Lihatlah, bagaimana dia bisa membenci tembang yang begitu indah itu.” Jawabnya sambil menyodorkan buku harian itu.

Istrinya membaca sekilas, lalu tersenyum. Ayah pun bingung dengan ekspresinya.

“Bukankah dia mirip kamu, mas?” sambil menatap suaminya dengan senyum yang berbinar.

Yang ditatap hanya mengernyitkan dahi. Mirip apanya?

“Dia itu suka berfikir kritis. Lihatlah, mungkin ketika anak lain sibuk mengikuti gurunya menyanyi dia malah mencoba memahami maknanya. Hanya saja karena keterbatasan pemahamanya sehingga tercipta kesimpulan yang salah.” Sambil menggengam tangan suaminya Bunda meneruskan. “Dia itu mirip kamu, mas. Ketika banyak ayah yang tak peduli dengan apa yang ditulis anaknya, kamu bahkan amat sedih hanya dengan tulisan yang sederhana.”
Bunda menaruh buku itu ke dalam laci. Membereskan isinya. Dia juga sudah hafal tempatnya karena sudah sering melihat suaminya. Buku itu ditaruh di paling bawah.

“Seperti yang kamu bilang, mas. Aku yang membereskan” lagi-lagi dengan senyum yang menawan. “Sarapan dulu, mas.”


***

  Malamnya seperti biasa. Si bungsu duduk di sofa belajar menghitung didampingi Bundanya. Kakanya asyik dilantai yang telah diberi karpet agar nyaman. Ayah di samping rak buku lengkap dengan kursi, meja belajar dan laptopnya. Bukan belajar, tapi mengedit naskah. Ayah memang bekerja sebagai editor di salah satu penerbit mayor. Harusnya meja itu untuk si sulung Doni, tapi dia lebih asyik di lantai dengan meja belajar kecil dan buku yang berserakan di sekelilingnya.

“Kakak belajar apa?” Ayah bertanya pada si sulung yang sibuk membolak-balikan buku pelajaran.

“Matematika, Yah.” Sejenak mendongak sedikit kaget tak menyangka Ayah akan bertanya.

“Gimana sekolahmu?”

“Seperti biasa, Yah”

“Tak ada yang mau diceritakan sama Ayah?”

Doni hanya menunduk. Ayah memang terkadang memaksa anaknya untuk bercerita tentang pengalamanya, kegiatan di sekolah, pelajaran. Apa saja yang bisa diceritakan, untuk melatih kemampuan presentasi katanya.

“Emm ... Yah, boleh tanya?” Doni memecah keheningan.

“Boleh.”

“Ayah tahu tentang tembang lir-ilir?” Ragu-ragu Doni bertanya. Ayahkan hobinya cuma nulis, menggambar, cerita dan sama sekali tak suka lagu, tapi apa salahnya bertanya.

“Tahu.” Ayah mengangguk

Doni agak terkejut. Apa benar. Ragu-ragu dia melanjutkan
“Di Sekolah suruh menyanyikan tembang itu, tapi bukanya tembang itu artinya tak baik ya, Yah?”

“Apa iya?”

“Tembang itu kesanya memaksa, Yah?”

Ayah menutup laptopnya untuk kemudian beranjak duduk di samping Doni.
“Kamu masih ingat dulu ketika Ayah dan Bunda memaksa kamu untuk sholat.” Sambil mengambil buku tulis yang tergeletak. Membuka lembar demi lembar buku itu. Doni hanya menatap bingung. “Sama ketika Bu Guru memberikan PR. Bukankah sama halnya itu memaksa kamu untuk belajar.” Ayah menoleh ke anak sulungnya itu. “Lalu apa yang kamu dapatkan dari paksaan itu?”

Doni menggaruk kepala yang tidak gatal. “Emm ... Peringkat satu.” Jawabnya ragu-ragu.

“Lebih dari itu. Itu untuk melatih kedisiplinan, tanggung jawab dan kerja keras demi memperoleh suatu tujuan. Walau awalnya terpaksa, tapi esok kamu akan paham. Dan bersyuur telah memanfaatkan masa mudamu dengan baik.”

Doni hanya mengangguk. Walau tak sepenuhnya paham tapi seperti kata Ayah. Esok dia akan paham.

“Begitu pula dengan tembang itu" Ayah melanjutkan "yang sebenarnya mengandung makna kehidupan. Pertanyaanmu pasti tentang si penggembala, bukan. Penggembala yang disuruh memanjat pohon belimbing. Belimbing itu bergerigi lima sebagai simbol lima rukun islam. Sedang penggembala itu adalah orang yang mampu mengajak rombonganya atau bahasa sederhananya imam. Bukan hanya imam untuk orang banyak tapi juga imam untuk diri kita sendiri. Kita harus berusaha untuk menahan hawa nafsu yang menjerumuskan dan mengarahkan ke yang baik, sebagaimana penggembala yang selalu berusaha menjaga ternaknya agar tak merusak tanaman orang lain juga mengarahkannya agar tak terpisah dari rombongan. Jadi kita harus berusaha menjalankan lima rukun islam itu dengan memaksa diri kita walaupun berat dan sebisa mungkin mengajak orang lain agar kita mendapat pahala yang berlipat ganda.”

Doni mengangguk paham. “Lalu makna keseluruhanya, Yah?” Sambil menatap penuh harap. Keraguanya hilang. Ternyata Ayahnya tahu banyak hal.

“Kamu coba cari sendiri. Tanya sama guru, baca buku, cari di internet. Nanti kita diskusi bersama.”

“Baik, Yah.” Ada guratan kecewa. Tatapanya berubah sayu dari balik kaca mata yang awalnya berbinar penuh semangat. Akan tetapi kekecewaan itu dengan cepat hilang. Doni sudah paham. Begitulah Ayah mengajarkanya. Arti penting perjuangan. Karena ilmu itu hanya akan didapat dari orang yang bersungguh-sungguh mencarinya.

Ayah tersenyum, mengusap rambut ikal anaknya. Untuk kemudian beranjak meneruskan pekerjaanya.

     Pukul sembilan. Jam dinding berbunyi bagai lonceng yang dipukul. Waktunya tidur untuk anak-anak. Besok harus bangun pagi-pagi. “Waktu pagi itu adalah waktu yang penuh berkah” begitulah kata Ayah mengajarkan pada anak-anaknya. Bukan hanya mencari berkahnya pagi, tapi juga mengajarkan kedisiplinan.

Doni segera membereskan buku yang berserakan. Menaruhnya di atas meja kecilnya. Untuk kemudian dibawa ke kamar. Juga buku Keyla adiknya dibawa sekalian. Si bungsu Keyla sudah sejak tadi jatuh tertidur di pangkuan Bundanya. Bunda segera mengangkatnya. Membawanya ke kamar. Mengecup keningnya.

“Selamat tidur sayang. Jangan lupa berdoa.” Juga mengecup kening si sulung yang hendak naik ke kasur tingkat dua. Kasur mereka dua tingkat. Atas untuk Doni dan bawah untuk Keyla.

Ayah masih asyik dengan laptopnya. Jemarinya menari di keyboard.

“Belum mau tidur mas?” Bunda mendekat, duduk di sampingnya.

“Sebentar lagi ya.” Jawabnya lembut sambil senyum menatap sekilas.

“Kenapa tadi kamu tak beri tahu langsung ke Doni?”

Ayah menutup laptopnya. Menoleh. Menatap kedua mata istrinya. Mungkin bagi orang lain tak ada yang istimewa, tapi bagi Ayah itu amat indah. Mata yang tetap berbinar dikala susah. Tetap terlihat tegar dikala lelah.
“Andai aku tadi langsung beri tahu, itu sama saja memberi contekan. Dan contekan itu akan mudah dilupakan. Beda jika dia berusaha sendiri mencarinya. Maka semakin keras dia berusaha semakin membekas pula ilmunya.”

------
*Ambil yang baik, ingatkan yang buruk
#belajar_nulis

Unknown

Tidak ada komentar:

Posting Komentar