Dua Sisi Mata Uang



Agar uang menjadi berharga maka kita memerlukan kedua sisinya. Apabila hanya satu yang terlukiskan dan tertera angka dan yang satunya polos tak berwarna maka tak akan berharga jadinya. Maka kita dalam hidup pun perlu memandang keduanya. Pernah saya merasa letih, lelah, bosan pada keadaan. Ibarat bola yang dilempar ke atas maka ada saatnya dia berhenti naik dan akhirnya jatuh dengan cepatnya. Perjalanan jauh didera panas dan hujan kadang menjadi alasan. Mimpi-mimpi indah yang terangkai tak kunjung jadi kenyataan. Apa yang seharusnya diprioritaskan tak pernah didahulukan. Dan banyak target yang akhirnya tak terealisasikan. Motivasi untuk terus berlari pun semakin pudar. Dan akhirnya tersungkur tak berdaya meratapi keadaan. Melihat mereka yang terus maju sedang diri ini semakin tertinggal.

Tapi mungkin perlu untuk sejenak berhenti. Asalkan tak berpaling lari. Melihat pada diri ini demi menghilangkan iri hati. Maka aku mencoba membuka sisi yang lainya. Dan ternyata terlukiskan berbeda tapi saling menyatukan. Arti berharga itu akhirnya aku dapatkan. Perlukah aku terawang untuk meyakinkan? Memang sesuatu yang berharga itu harus diperjuankan. Tapi ada kalanya didapatkan dengan sabar. Tapi sabar juga perjuangan, kan!


Sebagaimana dulu tatkala diri ini sendirian. Seorang anak pendiam dengan keluarga kecil penuh kasih sayang. Tapi kasih sayang itu seakan kurang. Karena keramaian pun terkadang dibutuhkan. Keramaian dalam pertengkaran juga keramaian dalam berbagi kasih sayang. Bukankah itu yang sering dilakukan dalam hubungan paseduluran.


Penah saya meminjam novel dari teman. Novel remaja yang penuh dengan romantisme. Tapi bukan romantisme dengan pasangan yang saya kenang. Tapi hubungan persaudaraan adik kakak yang terlukis dengan indah. Kekuatan sebuah novel yang mampu membangkitkan imajinasi dengan sangat luas melebihi film yang tervisualisasikan. Membuatku seolah mampu melihat tingkah mereka dengan tawa, canda, senang, bahagia juga sedih, susah dan marahnya mereka. Semakin bertambahlah harapan itu. Teman berbagi, teman bermain juga teman bertengkar. Karena terkadang pertengkaran itu juga menunjukan kedekatan. Asalkan tak berlebihan, karena segala yang berlebihan itu tak baik bukan. Bahkan kasih sayang berlaku demikian.


Lambat laun harapan itu mulai memudar. Bahkan bunga pun bisa layu jika tak mendapat air. Hingga akhirnya hujan yang ditunggu bunga itu pun datang. Diwaktu yang tepat dan bulan yang tepat. Dan benarlah tak ada yang tak mungkin bagi-Nya. 17 tahun selisih usia kami. Dan dia menjadi bunga penawar rindu dan hadiah terindah di bulan ramadan tahun itu.


Ustadz. Salim A Fillah pernah bertutur dalam bukunya “Dari buku ke kenyataan ternyata membuat saya menyesal. Kok nggak dari dulu”. “Es jeruk, jauh lebih enak diminum daripada sekedar diceritakan” begitulah kata Ustadz Mohammad Fauzil Adhim. Walaupun apa yang mereka bahas adalah kekasih halal. Tapi ini punya kesamaan yaitu cinta yang halal.


Tidaklah mengherankan seorang Ayah yang dari pagi hingga sore lelah bekerja tapi tatkala sampai dirumah, disambut dengan senyum ceria tertawa dengan polosnya. Belum sempat berganti baju pun sekedar melepas sepatu langsung menggendong dan bermain denganya. Lelahnya aktivitas maka dirumah ada penawarnya. Mungkin hubungan kami tak akan sedekat ayah dan anak. Tapi persaudaraan yang terpaut jauh usia ini membuatku merasakan akan nikmat dan berkahnya sebuah hubungan yang halal. Sehingga membuatku mampu memahami bahwa ada banyak nikmat yang terselipkan di dalam kehidupan kita. Hanya saja keegoisan diri ini membuatku tak peka merasakan nikmat yang teramat banyak. Dan jika mengingat itu masih sering saja lalai maka dengan menulis semoga sedikit membantu akan sisi lain kehidupan yang sering aku palingkan.

Unknown

Tidak ada komentar:

Posting Komentar